Disable People adalah keterbatasan atau kurangnya kemampuan
seseorang. Menurut UU No 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat “setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani
maupun sosialnya secara layak”.
Dari
UU tersebut di atas menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami kecacatan adalah
orang yang tidak dapat berbuat apa-apa, hanya sebagai beban bagi keluarga,
lingkungan dan partisipasi sosial.
Lalu,
sejak kapan istilah cacat ini dipermasalahkan? Istilah ini sudah dibahas oleh
para aktivis yang memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas sejak tahun
1946. Saat itu Dr. Suharso menyebut orang dengan disabilitas dengan sebutan “penderita
cacat”. Selanjutnya Dr. Suharso pada tahun 1990, mengubah istilah penderita
cacat menjadi “penyandang cacat”. Lalu pada tahun 1996, aktivis lainnya kembali
memperbaharui istilah penyandang cacat menjadi “difabel” singkatan dari “different
ability”. Namun istilah ini juga masih belum cukup kuat untuk dimasukkan
kedalam sebuah UU karena maknanya masih sempit dan belum mengakomodir sepenuhnya
kebutuhan orang dengan disabilitas karena kata difabel hanya melihat kemampuan personal sesorang saja tetapi tidak
melihat kebutuhan secara menyeluruh. Kemudian di tahun yang sama 1996, pada
pertemuan Pesatuan Bangsa-Bangsa (PBB) istilah “disabilitas” muncul. Dari hasil pertemuan inilah, maka istilah disabilitas
secara resmi digunakan dan juga dicantumkan dalam UU.
Untuk Indonesia, isitilah disabilitas mulai dikenal oleh
masyarakat pada tahun 2011 sejak dikeluarkannya UU No. 19/2011 tetang
Rativikasi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Selanjutnya Indonesia kembali mengeluarkan
UU untuk penyandang disabilitas yaitu UU No. 8 tahun 2016 tentang Hak-hak
Penyandang Disabilitas.
Di Amerika, Inggris dan negara lainnya kata Disability sudah ada sejak lama. Dari kata disability inilah istilah “disabilitas”
diadopsi. Sudah banyak kata dalam bahasa Inggris diadopsi yang dijadikan ke
bahasa Indonesia. Beberapa kata sebelumnya yang juga mengadopsi istilah bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia, seperti university
menjadi universitas, accesibility menjadi
aksesibilitas, activity menjadi
aktivitas dan masih banyak lagi kata-kata lainnya. Begitu juga kata disability menjadi disabilitas.
Mengapa kata disabilitas menjadi pilihan? Istilah disabilitas
menggantikan kata cacat bukanlah menjadi pilihan. Proses untuk menemukan kata
yang tepat untuk penyebutan bagi penyandang cacat membutuhkan waktu yang cukup
panjang. Dengan melakukan kajian-kajian yang panjang, maka kata disabilitas resmi digunakan sebagai
pengganti kata “cacat”. Beberapa pendapat para pegiat disabilitas yang
menggambarkan makna dari kata cacat, difabel dan disabilitas.
“Kalau kata cacat digunakan kepada manusia, secara
pribadi saya tidak setuju karena cacat itu identik dengan perumpaan barang atau
benda yang sudah rusak. Oleh karena itu tidak pantas untuk disebutkan kepada
manusia. Nah, kalau kata difabel bisa
diartikan seorang penyadang disabilitas yang mempunyi kemampuan yang berbeda
sesuai dengan tingkat disabilitasnya. Kalau kata disablitas, ini melekat pada
semua jenis penyandang cacat. Pengertiannya lebih umum (global). Untuk sebutan
sendiri, saya pribadi lebih suka dengan istilah difabel. Tetapi, setelah ada ratifikasi Convention on the Right of Person with Disabilities (CRPD)/Rativikasi
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas melalui UU Nomor 19 tahun 2011. Maka
istilah disabilitaslah yang digunakan dalam UU,” ungkap Ifwan Sahara selaku
Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Aceh, melalui pesan WA.
Selanjutnya Hadianti
Ramadhani, Humas DPP Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) di Jakarta
berpendapat bahwa, ”Cacat itu sama artinya dengan rusak berarti sudah tidak
bisa dipakai lagi dan siap untuk dibuang. Sementara kita manusia adalah ciptaan
Tuhan yang paling sempurna. Jadi cacat sangat tidak tepat untuk digunakan
kepada manusia karena bukan manusianya yang rusak, tetapi lingkungan dan
fasilitaslah yang harus disesuaikan dengan manusia yang menggunakannya. Difabel singkatan dari different ability. Ini juga tidak
mengacu pada kondisi penyandang disabilitas. Untuk istilah ini bisa kita
contohkan seperti Ibu saya bisa mengendarai mobil dan ayah saya bisa memasak.
Contoh ini sudah bisa disebut sebagai difabel.
Jadi, kata difabel juga bisa diperuntukkan kepada non difabel yang juga
memiliki kemampuan yang berbeda. Sedangkan kata kata disabilitas, ini sudah tepat
karena di UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas sudah
disesuaikan dengan UU Nomor 19 tahun 2011 tentang Rativikasi Konvensi Hak-hak
Penyandang Disabilitas,” ujarnya.
Sedangkan pendapat Ratu Mas Dewi, selaku ketua
Himpunan Wanita Disabilitas Provinsi Jambi mengatakan bahwa, “Cacat itu adalah
sesuatu yang rusak atau tidak mulus. Kata disabilitas dimasukkan kedalam UU
karena mengsinkronkan dengan Convention
on the Right of Person with Disabilities (CRPD) yang sudah di ratifikasi
menjadi UU Nomor 19 tahun 2011 tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat dilihat bahwa kata
cacat memang tidak pantas digunakan bagi manusia karena memiliki konotasi yang negatif sehingga tidak
dapat digunakan lagi. Cacat lebih diartikan kepada barang rusak, tidak dapat
digunakan kembali, harus diperbaiki dan lain sebagainya. Sedangkan istilah
disabilitas, konotasi yang dimunculkan lebih positif dan menghormati. Istilah
disabilitas dapat diartikan sesuatu yang wajar, bukan permasalahan sosial,
disabilitas bukan hanya tanggung jawab individu seseorang tetapi juga tanggung
jawab bersama dan lain sebagainya.
Disabilitas dilihat bukan hanya karena keadaan fisik
seseorang saja, tetapi dari semua aspek mulai dari fasilitas fisik yang tidak
ramah terhadap penyandang disabilitas dan juga masyarakat yang tidak menerima
keberadaan penyandang disabilitas dilingkungannya. Semua orang berpotensi
menjadi tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Jika keadaan ini terus
dipertahankan, maka orang yang sehatpun bisa menjadi disabilitas. Jadi,
berbicara hak penyandang disabilitas juga berbicara hak untuk semua orang
termasuk hak perempuan, hak anak, hak orang tua dan hak ibu hamil.
Berbicara tentang disabilitas tidak hanya melihat dari
fisiknya saja. Banyak lagi hal lainnya yang harus dibahas, seperti lingkungan,
interaksi sosial, masyarakat dan lain sebagainya.
Jaka Anom Ahmad, salah satu pakar isu disabilitas
berpendapat bahwa, “Disabilitas adalah kata yang paling tepat untuk
menggantikan kata cacat yang punya makna sangat negatif. Dari semua alternatif
terminologi yang dimunculkan sebagai pengganti kata cacat, hanya terminologi
disabilitas yang merangkum kondisi fisik, hambatan yang dihadapi, dan
interaksi. Perlu dipahami, seseorang dianggap mengalami disabilitas ketika ada
yang hilang atau tidak berfungsi pada tubuhnya, lalu lingkungan sekitarnya
tidak kondusif dengan keadaan fisiknya, sehingg interaksinya dengan masyarakat
menjadi hilang. Akibatnya, individu tersebut tidak bisa berpartisipasi menjadi
anggota masyarakat. Dengan munculnya istilah ini, maka fokus penyelesaian
masalahnya adalah ‘meningkatkan partisipasi individu yang mengalami
disabilitas, dengan menghilangkan hambatannya’.
Sekarang kita lihat, ada tunanetra yang bisa sekolah tinggi, ada
pengguna kursi roda yang punya usaha maju, ada orang tuli yang sukses menjadi
dokter dan lain sebagainya. Mereka mencapai semua itu, tanpa merubah kondisi
fisik mereka yang tidak bisa melihat, mendengar, atau berjalan. Namun ada
fasilitas yang dipenuhi, untuk menghilangkan hambatan-hambatan mereka.
Diberikan buku braille, dosen yang bisa bahasa isyarat, bidang miring dan
lain-lain.” Katanya melalui pesan email.
Dengan melihat pendapat dan pandangan-pandangan
para pegiatan dan pakar disabilitas, bahwa kata Disabilitas lebih tepat
digunakan sebagai pengganti kata cacat, karena disabilitas makananya lebih
positif, terbuka/luas, dan mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas
dibanding kata-kata lainnya. n Erlina Marlinda